Dok. Pribadi |
Pertengahan Nopember 2013, saya
berkenalan dengan seorang lelaki berumur 30-an. Setelah saling betanya panjang
lebar tentang diri masing-masing, lalu sampai pada pertanyaan asal daerah. Saya
dengan tidak ragu mengatakan berasal dari Aceh Selatan. Dan lelaki itu langsung
memegang tangan saya dan berkata, “Apa kamu ada bawa oleh-oleh dari kampung, Dek?”
Saya bingung. “Oleh-oleh? Maksudnya, Bang?” saya mengembalikan pertanyaan pada
lelaki itu. Ternyata yang dimaksud “oleh-oleh” adalah ilmu kebal. Duh.. padahal
saya tidak punya ilmu tersebut. Kenapa bisa muncul pertanyaan seperti ini?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang-orang
dari daerah Barat-Selatan Aceh khususnya Aceh Selatan & Abdya dianggap
kebal dan punya jampi-jampi atau mantra. Ini dinamakaan dengan stereotipe
yang berarti penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap
kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan (Wikipedia).
Stereotipe seperti ini
sebenarnya sangat mengganggu bagi saya dan juga bagi orang-orang Aceh Selatan
lainnya. Karena ada kawan-kawan yang berusaha membuat jarak pertemanan ketika
ia mengetahui saya dari Aceh Selatan, apalagi saya adalah tipe pendiam.
Memang tidak bisa dinafikan memang ada
orang-orang disana mengamalkan ilmu tersebut ilmu tersebut. Tapi bukan berarti
semua. Bukan kah di daerah lain juga ada? Masih ingat berita tentang seorang yang
dukun yang dibakar oleh warga di Bireuen?! Saya juga pernah mendengar cerita
dari kakak kandung saya ketika ia mondok di Pesantren Babun Najah, Banda Aceh,
santri disitu pernah disantet yang menyebabkan tiap malam santri kerasukan
mecapai puluhan orang. Bukan kah ini terjadi dalam perkotaan?
Stereotipe jadi “senjata”
Seorang kawan saya dari Aceh Selatan juga
pernah bercerita. Ia merupakan salah satu mahasiswa salah satu universitas di
Banda Aceh. Suatu hari terjadi kerusuhan di kampus tersebut antara dua kubu
yang berbeda pendapat. Ia termasuk dalam salah satu anggtot dari kedua kubu
itu.
Perkelahian pun terjadi. Tiba-tiba Si
Kawan dihadang oleh salah seorang “lawan” yang tubuhnya lebih besar dan tinggi.
Mustahil ia melawan. Bajunya dipengang dengan tangan kiri Si Lawan”, dan tangan
kanan sudah dikepal dan siap diarah ke mukanya. Tak ada cara untuk meloloskan
diri. Ia terdesak. Lalu ia berkata kepada “Si lawan”, “ Aku orang Aceh Selatan,
Bang...” Tiba-tiba “hadiah bogem” itu tak jadi diledakkan di mukanya.
Ada satu kisah lagi. Ada seorang pemuda
dari kampung saya, namanya Alimat. Beberapa tahun lalu ia merantau ke Banda
Aceh untuk berkerja. Suatu hari ia bermain Voly bersama pemuda-pemuda kampung
di tempat ia menetap. Lalu terjadi keributan. Entah apa penyebabnya. Tiba-tiba
ada seorang berlari ke arahnya dengan membawa parang yang siap ditebas ke arah
Alimat. Alimat harus memutar otak supaya lolos. Lari tak mungkin lagi. Dan ia
membuka bajunya, lalu berteriak, “Ka tak ju, lon awak Aceh Selatan, lon keubaiiii...!!”
Sama seperti cerita sebelumnya di atas, Si Penebas tak jadi menebas manusia
karena mendengar kalimat “orang Aceh Selatan”.
Andai saja Si Penebas benar-benar
menebas, maka tamat lah riwayat hidup Alimat. Karena ia tidak kebal. Namun tipu
dayanya berhasil menyelamatkan nyawanya.
Stereotipe ini kadang mengalahkan sebutan
Aceh Selatan sebgai tempat “produksi” ulama-ulama Aceh. Disana pernah lahir seorang
ulama kharismatik Aceh, Abuya Syeh Muda Wali Al-Chalidy. Ia mendirikan dayah Darussalam.
Konon ulama-ulama besar di Aceh sebagian besar merupakan Alumni dayah Darussalam.
Dayah ini dari dulu sampai sekarang masih saja ramai dihuni oleh santri dari
seluruh Aceh.
Aceh Selatan merupakan salah satu korban
stereotipe itu. Pastinya, stereotipe bisa menciptakan tembok
penghalang bagi kita untuk bergaul.
Sebagai orang berdarah Aceh Selatan, apa yang ditulis di atas memang benar. Kadang-kadang jika berhadapan dengan orang-orang yang bereaksi negatif ketika tau kita berasal dari Aceh Selatan, harus pula menjelaskan panjang lebar tentang yang sebenarnya. :D
ReplyDeleteTerima kasih, Bang, atas komennya....
ReplyDeletebenar sekali yang ditulis ini, saya juga pernah mendengar dan meliat langsung saat orang selatan di-bully sama orang aceh lainnya.
ReplyDeleteVery nice
yaah..begitu lah... prasangka...
Deletemantap tgk........
ReplyDeletesemoga orang-orang dapat mengenal Aceh Selatan lebih dalam....:D
kabeutoi tgk,,,,tanyo hana ata nyan...haha
DeleteSekali lagi jika dasarnya hanya kepada penilaian yg hanya mnjdi paradigma masyrkt tnpa diketahui kebenarannya, itu tdk hanya terjadi di aceh selatan. Banyak daerah lain yg mmbawa stereotipe dg model yg berbeda. Pintar2 kita nya lah dlm berpikir dan menganalisa, mana yg bnr baik dan tidak. Dan cuma dr kita lah bisa menjelaskan ke mereka kalp semuanya tidak seperti yg mereka pikirkan.
ReplyDeleteiya kak...sebagai orang Aceh Selatan saya coba menjelaskan tentang yg sebenarnya terhadap setereotipe yg berkembang selama berpuluh-puluh tahun.....
Deletesaya punya ilmu tu. hehe
ReplyDeletehhmm..benar kah??
DeleteAda kawan ane yg ga suka dg org Asel, katanya punya ilmu yg ga bagus, yg lucunya dia blgnya sama ane, dia ga tau klo ane keturunan Asel.. Ane sih senyum2 aja.
ReplyDeletekalo ada kawan seperti itu perlu diragukan cara berfikirnya...
Delete